• Romantique Rooms

  • | Beranda Muka | Irama Dakwah | Serambi | Tokoh Ulama | Pemikir Barat | Pustaka Politik | Billingual BBC |

    Wednesday, September 19, 2007

    Menyingkap Tabir Ramadhan

    Oleh: Zamhasari J. Naimah

    SATU MINGGU sudah umat Islam di seluruh dunia ini berada dalam bulan suci Ramadhan, dan itu artinya kita sudah berada di penghujung sepertiga dari bulan yang penuh dengan berkah dan ampunan dari Allah SWT. Diantara keistemewaan ibadah puasa itu adalah sebagai “alat pengukur” batas keimanan seorang hamba kepada Allah SWT karena memang ibadah puasa dilengkapi dengan “seperangkat peraturan” yang harus dipatuhi pada saat menjalankan ibadah puasa itu. Diantara peraturan-peraturan itu selain menahan nafsu untuk tidak makan dan minum dimulai sejak waktu imsak hingga terbenamnya matahari, bagi suami dan isteri juga harus menahan nafsu syahwat untuk tidak melakukan “hubungan badan,” serta menghindari segala hal yang bisa membatalkan pahala puasa. Karena begitu pentingnya ibadah puasa ini, maka dalam hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Semua amalan anak Adam itu adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya ibadah puasa itu adalah untukKu dan Akulah yang akan memberi balasannya.” (HR. Bukhori). Melalui ibadah puasa inilah keimanan, kesabaran, ketabahan, keyakinan dan ketaatan kita kepada Allah SWT diuji serta sejauh mana pula kemampuan kita dalam menahan hawa nafsu duniawi dan larangan-larangan Allah SWT.

    Ibadah puasa bukan hanya untuk kepentingan rohani semata, melainkan ibadah puasa juga memiliki alasan dari sisi saintifik dan berperan sebagai pengontrol kesehatan jasmani. Para dokter dari berbagai agama dan lintas Negara setelah melakukan penelitian yang cukup mendalam tentang praktek puasa ini sependapat bahwa puasa dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Menurut Dr. Alan Cott, seorang ahli obat-obatan Amerika yang bertempat tingal di Texas mengatakan, “Berpuasa itu dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Mulai dari penyakit migren (sakit kepala) hingga penyakit tekanan darah tinggi, penyakit tulang dan penyakit anemia.” Masih menurut Dr. Cott bahwa 99 persen masyarakat yang terkena penyakit tersebut disebabkan oleh kelebihan makan (overeating). Puasa juga dapat berfungsi untuk membersihkan diri bagi para peminum minuman keras. Dr. Yuri Nikolayev asal Rusia menyebutkan bahwa puasa juga terbukti cukup ampuh untuk mengobati penyakit jiwa (schizophrenia) dan penyakit mental lainnya.

    Pada bulan puasa ini pula kita diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai bentuk kepedulian kita kepada mereka yang tidak mampu. Melalui zakat fitrah itu pula, seyogyanya hati kita tergugah untuk memikirkan nasib sesama umat Islam yang ada di sekitar kita terutama kaum fakir dan miskin. Dengan zakat dari kita itu pula diharapkan mereka yang tidak mampu itu tadi dapat menikmati indahnya bulan suci Ramadhan ini dan dapat pula turut merayakan kebahagiaan pada bulan Syawal (Hari Raya). Ibadah puasa dan Hari Raya adalah dua peristiwa penting dalam kehidupan umat Islam. Diantara dua peristiwa itu terdapat satu peristiwa yang sangat bersejarah yaitu awal mula ayat suci al-Qur’an diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabiullah Muhammad SAW atau yang lebih dikenal dengan peristiwa nuzul al-Quran atau turunnya al-Qur’an.

    Sebagaimana yang pernah saya sampaikan dalam Pengajian Sabtu di Musholla Baiturrahman pada beberapa bulan lalu, bahwa al-Quran adalah mu’jizat dari Allah SWT yang diberikan kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai “Kitab Undang-Undang” bagi umat Islam. Kita percaya bahwa Allah SWT adalah Dzat yang telah menciptakan alam semesta ini. Dan melalui sunnatullah pula umat manusia ini dijadikan bersuku bangsa antar satu sama lainnya yang tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah supaya kita saling mengenal. Sebagai bangsa yang hidup di dunia ini dari beragam suku dan bangsa, kita diikat oleh sebuah peraturan yang kita kenal dengan Undang-Undang atau Konstitusi. Undang-Undang atau Konstitusi dunia ini dibuat oleh manusia yang tujuannya tidak lain adalah agar kita disiplin dan tertata rapi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dan dalam konstitusi itu, dikenal pula istilah Amandemen. Bila peraturan yang ada dalam Konstitusi itu mengalami perubahan (amandemen), maka peraturan yang baru itulah yang dipakai dan peraturan yang lama akan gugur dengan sendirinya.

    Begitu pula dalam konteks kita sebagai manusia yang beragama. Dalam beragama ini, kita juga diikat oleh Allah SWT dengan aturan-aturan melalui Kitab Suci-Kitab SuciNya yang disampaikan melalui para Rasul utusanNya. Kitab Suci-Kitab Suci tersebut datangnya dari Allah SWT, diantaranya Kitab Taurat, Kitab Zabur, Kitab Injil dan yang terakhir adalah Kitab al-Qur’an al-Kariem. Pesan inti dari semua Kitab Suci itu adalah sama: yaitu pesan untuk menyembah Allah SWT tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Dengan Kitab Suci itu pula kita dituntun untuk hidup taat yang tujuan akhirnya adalah selamat di dunia dan bahagia di akhirat kelak. Perlu diingat, bahwa sesuai dengan sunnatullah pula, Kitab Suci-Kitab Suci itu juga mengalami amandemen. Dan al-Qur’an al-Kariem merupakan Kitab Suci dari Allah SWT yang terakhir sekaligus merupakan “hasil amandemen terakhir” dari Kitab Suci-Kitab Suci terdahulu.

    Sesungguhnya dengan mengikuti aturan-aturan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an itu, akan mendatangkan rahmat yang besar bagi kehidupan manusia sekaligus akan meninggikan derajat manusia itu sendiri, dan yang tidak kalah pentingnya al-Qur’an juga diturunkan untuk menuntun kehidupan umat Islam yang sudah carut marut dan mengikuti aliran-aliran yang sesat. Karena itu, anggapan yang menyatakan bahwa al-Qur’an sudah tidak relevan dan tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang ini adalah sebagai tanda dangkalnya pemahaman seseorang itu terhadap al-Qur’an, yaitu Kitab Undang-Undang “hasil amandemen terakhir” dari Allah SWT, Dzat yang menciptakan dan menguasai alam semesta ini. Wallahu a’lam.[]

    Zamhasari J. Naimah, Pelajar pada Department of Philosophy and Religion di Madurai Kamaraj University, India.

    Wednesday, February 08, 2006

    Seni dan Irama Dalam Bersuci [1]

    Oleh: Zamhasari Jamil

    ASSALAmu’alaikum Wr. Wb; Para pembaca dan para pendengar Irama Dakwah yang budiman, amma ba’du.
    Pada pertemuan kita yang kedua di Pondok Irama Dakwah ini, penulis akan mencoba untuk menghidangkan sebuah seni dan irama dalam bersuci yang merupakan syarat mutlak sebelum kita mendirikan sholat.

    Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama bahwa sebelum kita mendirikan sholat, terlebih dahulu kita harus mensucikan diri kita dari hadats kecil dengan cara berwudhu’ dan dari hadats besar dengan melakukan mandi wajib. Untuk memudahkan kita dalam memahami seni dan irama dalam bersuci ini, penulis akan menghadirkan bang Fahman Kamil untuk mengulas tema ini. Fahman Kamil, sebagaimana yang telah kami perkenalkan kepada para pembaca dan para pendengar Irama Dakwah dalam pertemuan yang pertama dahulu, adalah pelajar asal Riau, lulusan Department of Islamic Studies, Jamia Millia Islamia, New Delhi.

    Zamhasari Jamil (ZJ): Assalamu’alaikum, bang Fahman. Sebelum kita meneruskan pembicaraan kita pada pertemuan yang kedua ini, terlebih dahulu saya ingin mengucapkan "Selamat Datang" kepada bang Fahman dan para pembaca dan para pendengar Irama Dakwah di Pondok Irama Dakwah ini. Bagaimana kabar abang, para pembaca dan para pendengar Irama Dakwah hari ini? Do’a dan harapan saya tentunya semoga abang, para pembaca dan para pendengar Irama Dakwah tetap sukses selalu dalam segala aktivitas sehai-hari. Amien ya Rabb.

    Fahman Kamil (FK): Wa’alaikumsalam, Zam. Alhamdulillah, saya baik-baik saja. Terima kasih atas do’a dan harapannya serta harapan yang sama dari saya juga buat Izam.

    ZJ: Bang Fahman, seperti yang sudah kita sepakati bersama bahwa pada kesempatan ini kita akan berbicara mengenai seni dan irama dalam bersuci. Yang ingin saya tanyakan adalah, apakah yang dimaksud dengan bersuci itu bang?

    FK: Suatu pertanyaan yang cukup bagus sekali. Yang dimaksud dengan bersuci disini adalah membersihkan diri kita dari segala macam hadats, baik itu berupa hadats kecil maupun hadats besar serta membersihkan diri kita dan pakaian yang kita kenakan dari segala macam bentuk najis, baik itu berupa najis ringan, najis pertengahan maupun najis berat.

    ZJ: Bang Fahman, apa yang dimaksud dengan hadats kecil dan hadats besar itu serta bagaimana cara bersuci dari kedua hadats tersebut?

    FK: Sebelum saya menjelaskan hadats besar dan hadats kecil tersebut, perlu saya sebutkan disini bahwa hadats itu adalah suatu perkara yang dapat menghalangi sahnya sholat atau ibadah seseorang. Untuk itu, hadats tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum kita mendirikan sholat supaya sholat atau ibadah yang kita lakukan tersebut menjadi sah dan diterima oleh Allah SWT. Nah, adapun yang dimaksud dengan hadats kecil disini atau lebih tepatnya seseorang itu disebut berhadats kecil, apabila: 1) Keluar sesuatu dari kubul dan dubur (buang air kecil, buang air besar, dan kentut). 2) Tidur nyenyak dalam keadaan berbaring. 3) Hilang akal karena mabuk atau gila. 4) Menyentuh kemaluan dengan menggunakan telapak tangan.

    Sedangkan yang dimaksud dengan hadats besar atau seseorang itu berhadats besar, apabila: 1) Keluar air mani baik karena sengaja atau tidak disengaja. 2) Bersenggama atau melakukan hubungan badan antara suami dan isteri. 3) Datang bulan bagi wanita atau disebut juga dengan menstruasi (haid). Dan 4) Keluar darah setelah melahirkan (nifas). Demikian itulah yang disebut dengan hadats kecil dan hadats besar. Adapaun cara bersuci dari hadats tersebut dapat ditempuh dengan cara, pertama, berwudhu’; kedua, mandi wajib; dan ketiga, tayammum.

    ZJ: Sebagaimana yang abang katakana tadi, bahwa bersuci dari hadats itu dapat ditempuh melalui berwudhu’, mandi wajib dan tayammum. Nah, apakah pengertian berwudhu’ tersebut dan bagaimana cara berwudhu’ yang sempurna itu bang?

    FK: Saya kira pertanyaan itu cukup menarik sekali dan sangat pantas untuk diajukan, mengingat selama ini masih banyak saudara-saudari kita yang belum memahami pengertian wudhu’ itu sendiri serta mengetahui tata cara melakukan wudhu’ secara tepat dan benar. Perlu saya tegaskan dan saya ingatkan kembali bahwa pengertian wudhu’ itu adalah bersuci dari hadats kecil (saja) dengan menggunakan air mutlak atau disebut juga dengan air yang suci dan menyucikan.

    Menurut para ulama fiqh (pakar hukum Islam) bahwa air mutlak itu terdiri dari tujuh macam, yaitu, 1) air hujan; 2) air sungai; 3) air laut; 4) air mata air; 5) air salju; 6) air embun; dan 7) air sumur atau air telaga. Air-air yang disebutkan diatas tadi boleh digunakan untuk berwudhu’ dan boleh pula digunakan untuk melakukan mandi wajib karena air-air itu tadi memiliki sifat suci dan dapat pula mennyucikan.

    Adapun perintah berwudhu’ sebelum mendirikan sholat dan tata cara pelaksanaan wudhu’ tersebut telah disebutkan oleh Allah SWT di dalam Q.S. Al-Maidah: 6. Artinya, "Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mendirikan sholat, maka basuhlah mukamu dan kedua tanganmu (dari ujung jari) sampai ke siku, lalu usaplah kepalamu (pangkal rambut) dan kemudian basuhlah kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki". Ayat ini menjelaskan tentang perintah berwudhu’ pada anggota badan yang pokok (utama) saja. Kemudian Rasulullah SAW telah pula menerangkan di dalam banyak hadits mengenai beberapa hal yang sunnah dilakukan dalam berwudu’ itu.

    ZJ: Bang Fahman, karena berwudhu’ ini memang sangat menentukan sekali terhadap keshahihan (sah) sholat dan ibadah kita, bagaimana kalau abang jelaskan saja tata cara berwudhu’ tersebut secara sempurna beserta hal-hal sunnah yang dilakukan dalam berwudhu’ itu sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW?

    FK: Nah, ini suatu permintaan yang cukup menarik sekali dan saya senang mendengarnya. Memang tak sia-sia kamu berkutab (baca: mengikuti sekolah petang) di Madrasah Ibtidaiyah Al-Washliyah (MIA), Madrasah Ibtidaiyah Mu’allimin dan Madrasah Ibtidaiyah Simpang Pelita sewaktu kamu masih kecil dahulu itu. Saya yakin kamu masih ingat kalau kamu itu suka menangis di MIA kalau ditinggal oleh andung Posah (almh) sehingga andung pun harus rela menunggu cucu pertamanya ini di depan pintu kelas MIA hingga proses belajar-mengajar selesai. Baiklah Zam, mengenai tata cara berwudhu’ itu, dapat saya sampaikan berikut:

    1) Dimulai dengan membaca "Bismilillaahirrahmaanirrahiim", sambil membersihkan kedua belah tangan. 2) Berkumur-kumur tiga kali sambil membersihkan gigi. 3) Setelah berkumur-kumur, diteruskan dengan membersihkan hidung dengan cara menghirup air ke rongga hidung dan mengeluarkannya kembali (sampai tiga kali). 4) Setelah membersihkan hidung, kemudian basuhlah muka sampai batas tumbuh rambut, kedua telinga dan dagu (sebanyak tiga kali). Apabila berjanggut, maka usaplah disela-sela janggut dengan jari-jari tangan yang masih basah. Adapun pada saat membasuh muka, maka berniatlah (di dalam hati) sebagai berikut: "Aku sengaja berwudhu' untuk menghilangkan hadats kecil karena Allah Ta'ala."

    5) Kemudian basuhlah kedua tangan dimulai dari ujung-ujung jari hingga siku (sebanyak tiga kali), dimulai dari tangan sebelah kanan dan kemudian setelah itu tangan sebelah kiri. 6) Kemudian setelah itu, usaplah kepala dengan mengarahkan jari-jari tangan ke sela-sela rambut hingga menyentuh kulit kepala. Tangan diarahkan dari bagian belakang, kemudian kembali lagi ke depan. 7) Selesai mengusap kepala, diteruskan dengan membersihkan kedua telinga dengan cara memasukkan jari telunjuk ke sela-sela kuping bagian dalam dan tempelkan ibu jari di bagian bawah luar daun telinga, lalu diputar ibu jarinya sampai ke atas. 8) Membasuh kedua kaki sampai mata kaki atau lebih (sebanyak tiga kali), dengan menggosok sela-sela jari kaki dengan jari-jari tangan. Dimulai dari kaki sebelah kanan, kemudian kaki sebelah kiri. 9) Apabila telah selesai membasuh kedua kaki, maka menghadaplah ke arah kiblat sambil berdo'a, "Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan tiada pula sekutu baginya. Dan bersaksi bahwa Rasulullah Muhammad adalah hambaNya dan utusanNya."

    ZJ: Bang Fahman, setelah saya mendengar penjelasan abang ini, saya menjadi bertanya kepada diri saya sendiri, sudah sempurnakah wudhu’ saya selama ini? Semoga Allah SWT mengampuni segala kesalahan dan kekurangan saya selama ini bila memang tata cara saya dalam berwudhu’ belum sempurna. Insya Allah, saya akan berusaha menyempurnakan tata cara dalam berwudhu’ ini. Oh iya bang Fahman, apakah berwudhu’ ini juga memiliki fungsi lain selain bersuci atau apakah ada makna lain yang tersirat di balik proses berwudhu’ itu?

    FK: Tentu saja ada. Dengan berwudhu’, hendaklah kita juga berusaha untuk membersihkan segala jenis dan bentuk penyakit hati yang ada di dalam diri kita, seperti penyakit iri dan dengki, cemburu yang bukan pada tempatnya dan suka atau mudah marah kepada orang lain tanpa ada alasan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan berwudhu’, kita kita juga dituntut untuk menjaga diri kita agar tetap bersih dari segala macam dosa. Satu hal yang perlu kita ingat ketika kita berwudhu’ adalah supaya kita menggunakan air secara hemat dan tidak menggunakan air secara berlebihan.

    Selain itu anjuran membaca Basmalah sebagaimana yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW adalah untuk mengingatkan kita bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan hendaklah dimulai dengan menyebut nama Allah SWT (Bismillahirrahmanirrahim). Kemudian proses membersihkan kedua belah tangan memberikan isyarat kepada kita supaya kita tidak menyentuh benda-benda haram dan tidak pula mengambil atau merampas barang-barang atau benda yang bukan hak dan milik kita.

    Begitu pula dengan anjuran berkumur-kumur dan membersihkan hidung mengingatkan kita agar tidak melakukan ghibah, gossip, mengatai-ngatai serta mencaci-maki yang bertujuan untuk menjelek-jelekan orang lain. Mulut yang merupakan "pintu utama" masuknya makanan dan minuman ke dalam perut kita juga harus bersih dan tetap terjaga sehingga jangan sampai ada makanan dan minuman yang haram masuk ke dalam perut kita melalui mulut tersebut. Kemudian anjuran Rasulullah SAW untuk membersihkan hidung mengajarkan kita supaya kita tetap menjaga hidung kita sehingga kita tidak terjerumus kedalam praktek mencium dan menghiap atau menghirup barang-barang berbahaya seperti narkotika dan beberapa obat terlarang lainnya.

    Perintah membasuk muka sampai pada batas tumbuhnya rambut, kedua belah pipi hingga telinga dan dagu mengajarkan kepada kita kita tetap berpihak kepada kebenaran dan tidak berpaling kepada hal-hal yang bathil. Adapun perintah mengusap kepala memberikan isyarat kepada kita agar kita tetap menggunakan akal kita untuk berfikir menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi ini, bukan digunakan untuk memikirkan hal-hal yang negative seperti berfikir mencari celah berbuat korupsi dsb.

    Anjuran Rasulullah SAW suapay membersihkan kedua telinga juga memiliki makna tersendiri, yaitu kita tetapa enjaga telinga atau pendengaran kita dari hala-hal negatif dan pembicaraan-pembicaraan kosong yang tidak membaca manfaat. Sebaliknya kita diajak oleh Rasulullah SAW untuk mendengarkan hal-hal yang positif dan pembicaraan-pembicaraan yang bermanfaat dan dapat menambah ilmu sehingga mampu mendatangkan ridho Allah SWT kepada kita.

    Perintah Allah SWT untuk membasuk kaki mengajakan kita agar kita tidak menggunakan kaki kita tersebut untuk melangkah menuju tempat-tempat maksiat, seperti bar, diskotik dan warung-warung dunia gemerlapan. Lalu anjuran Rasulullah SAW untuk berdo’a kepada Allah SWT sambil menghadap kiblat tersebut adalah untuk mengingatkan kita semua bahwa kita yang hidup di dunia yang sangat sebentar ini benar-benar berjalan, berbuat dan bertindak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan diajarkan oleh Rasulullah SAW.

    Perlu diketahui bahwa sebenarnya masih banyak makna-makna yang tersirat didalam proses berwudhu’ itu. Namun, dengan segala keterbatasan ilmu yang saya miliki dan kekurangan-kekurangan yang masih banyak melekat pada diri saya, maka saya tak dapat menyebutkannya secara sempurna disini. Tak lupa pula, saya bermohon dan bermunajat kepada Allah SWT semoga Allah SWT berkenan mengampuni kesalahan-kesalahan saya bila di dalam bahasan yang sangat sederhana ini terhadap hala-hal yang bukan pada tempat yang semestinya. Amien ya Rabb.

    ZJ: Subhanallah …, saya menjadi terharu mendengar ulasan bang Fahman ini. Dan saya juga masih ingin tahu lagi bang tentang keistimewaan bagi orang-orang yang senantiasa tetap menjaga wudhu’nya.

    FK: Menanggapi pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah: 222. Artinya, "Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (dawamul wudhu’ atau mengkontinyukan air sembahyang)". Dan Rasulullah SAW juga pernah bersabda, yang artinya, "Bersuci itu merupakan sebagian daripada iman". Orang-orang yang senantiasa tetap dalam keadaan berwudhu’ akan memiliki wajah yang bercahaya dan sedap dipandang mata.

    Senyuman orang-orang yang senantiasa dalam keadaan berwudhu’ itu akan membuat hati yang memandangnya akan merasa tenang. Bahkan wajah-wajah yang senantiasa dibasahi oleh siraman air wudhu’ akan bercahaya terang di hari kiamat nanti. Dan itu akan mempermudah Rasulullah SAW untuk mengenal umatnya. Karena itu, beruntunglah orang-orang yang senantiasa menjaga dirinya selalu dalam keadaan berwudhu’. Bagi kita yang belum membiasakan diri kita untuk tetap dalam keadaan berwudhu’, mari kita mulai dari sekarang. Sebab, kapan lagi kita barus memulainya bila tidak dari sekarang, padahal umur kita semakin hari semakin berkurang.

    ZJ: Subhanallah …, betul sekali apa yang abang sampaikan ini. Bang Fahman, sebenarnya masih ada dua bahasana lagi yang akan kita bicarakan, yaitu mandi wajib dan tayammum. Bagaimana menurut abang mengenai dua bahasan yang belum sempat kita bicarakan ini?

    FK: Begini saja, hal-hal yang berkenaan dengan mandi wajib dan tayammum akan kita bahas pada pertemuan yang akan datang. Lagi pula, sekarang saya juga akan menyelesaikan tugas-tugas kuliah saya terlebih dahulu. Belum lagi pakaian saya yang sudah direndam bebepa hari ini belum sempat dicuci dan dikeringkan, bahkan ada kemungkinan pakaian-pakaian yang saya rendam itu sudah menjadi tape. Untuk itu, saya harus mengakhiri pembicaraan kita pada pertemuan ini. Insya Allah kita akan bersua lagi di tempat yang sama, Pondok Irama Dakwah yang kita cintai ini. Jadi, saya mohon maaf karena tidak bisa berlama-lama di sini, dan perkenankan saya untuk mohon diri, assalamu’alaikum.

    ZJ: Bang, mantap juga kalau di bilik abang ada tape pakaian, pasti lebih wangi baunya bila dibandingkan dengan tape Basmati buatan Ikhsan, hehehehe. Okelah bang Fahman, tulang sumsum punggung saya juga sudah mulai berdenyut. Dan saya sangat sepakat dengan ide cemerlang abang ini supaya pembicaraan kita diteruskan pada pertemuan yang akan datang saja, dan selamat menikmati aroma tape pakaian, dan wa’alaikumsalam bang Fahman.

    Para pembaca dan para pendengar Irama Dakwah yang budiman, karena padatnya kegiatan bang Fahman ini, maka demikian dulu sekilas pembicaraan penulis dengan Fahman Kamil pada pertemuan yang kedua ini. Insya Allah, Fahman Kamil akan kembali hadir di Pondok Irama Dakwah yang sangat romantis ini pada waktu yang akan datang. Selamat menikmati hari-hari anda, dan tetaplah bersama kami. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. []

    Zamhasari Jamil, Pelajar Ilmu Politik asal Riau di Aligarh Muslim University, India.

    Sunday, January 29, 2006

    Seni dan Irama Belajar Al-Qur’an

    Oleh: Zamhasari Jamil

    ASSALAmu’alaikum Wr. Wb; Para pembaca dan para pendengar Irama Dakwah yang budiman, amma ba’du.

    Pada pertemuan kita yang pertama ini, perkenankan penulis mengetengahkan sebuah seni dan irama dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak. Mengapa yang menjadi sasaran dalam mengajari Al-Qur’an ini adalah anak-anak? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sekaligus untuk menumbuhkan rasa keasikan para pembaca dan para pendengar dalam menikmati untaian-untaian irama dakwah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca dan para pendengar yang budiman untuk mengikuti secara sempurna percakapan antara penulis, yaitu Zamhasari Jamil bersama dengan Fahman Kamil, santri lulusan Pondok Pesantren Dar El-Hikmah, Pekanbaru, Riau. Saat ini, bang Fahman Kamil yang merupakan alumnus Department of Islamic Studies, Jamia Millia Islamia, New Delhi tersebut masih berstatus singel dan belum memiliki bayangan siapakah ratu atau gadis manakah yang akan menajadi pendamping hidupnya nanti?

    Zamhasari Jamil (ZJ): Assalamu’alaikum, kaifa hâluka ya bang Fahman? Ad’uwallaha Ta’ala an takûna fi syiddati as-shihhah wa al-‘âfiah dâiman abada. (Kalimat berbahasa Arab yang dalam versi Indonesianya: Apa kabar bang Fahman? Do’a dan harapan saya semoga abang tetap sehat wal’afiat selalu).

    Fahman Kamil (FK): Wa’alaikumsalam, Zam. Merci mille fois. Je suis trèn bien. (Kalimat berbahasa Francis yang dalam versi Indonesianya: Alhamdulillah, saya baik-baik saja).

    ZJ:
    Bang Fahman, pada pertemua kita yang pertama ini, kita kan akan bercerita tentang seni dan irama dalam belajar Al-Qur’an. Menurut abang, sejak kapan sebaiknya seseorang itu sudah mulai belajar membaca Al-Qur’an?

    FK: Nah, itu suatu pertanyaan yang cukup bagus sekali. Mempelajari Al-Qur’an itu hendaknya sudah dimulai sejak usia anak-anak. Ketika si anak berusia empat atau lima tahun, atau pada saat si anak masih berusia tiga tahun bila memungkinkan. Sebab pada masa ini, lidah anak masih lentur ibarat dahan yang masih muda, sehingga kita akan lebih mudah mengajarkan untuk melafadzkan huruf-huruf hijaiyah tersebut secara tepat dan benar. Perlu kita ingat, kesalahan dalam melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an akan mengakibatkan kesalahan makna Al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh, [q]albu itu berarti hati dan [k]albu itu berarti anjing. Perbedaan antara huruf ‘qaf’ dan huruf ‘kaf’ itu sangat tipis sekali. Atau huruf ‘dzal’ dan huruf ‘jim’ seperti dalam kalimat [Z]akir dan [J]akir. Disitu, kalimat yang benar adalah ‘Zakir’ bukan ‘Jakir’. Begitu juga dalam kalimat “I[dza][ja]anashrullah, bukan I[ja][ja]anashrullah” atau dalam kalimat “ta[‘]lamun, bukan ta[k]lamun”, dimana banyak diantara kita yang menggantikan posisi huruf “’ain” dengan huruf “kaf”. Kesalahan-kesalahan semacam itu biasanya muncul karena pengaruh dialek bahasa setempat.

    ZJ:
    Bagaimana caranya untuk mengajari anak-anak yang masih berusia Balita itu, Bang Fahman?

    FK: Ooo …, caranya sangat mudah sekali. Guru yang mengajarkan anak tersebut, entah itu bapaknya, ibunya, abangnya atau kakaknya, terlebih dahulu memposisikan dirinya sebagai anak-anak juga. Artinya, guru yang mengajar anak itu harus bisa menyesuaikan diri dengan anak tersebut. Sebagai contoh, kita bisa mengajarnya sambil bermain dengannya, atau pada saat mengendongnya. Perlu kita perhatikan juga, saat mengajarkan Al-Qur’an kepada anak, jangan pernah membentaknya atau menyalahkan bacaannya. Sebaliknya, perbanyaklah memberi pujian dan bila bacaannya salah, jangan katakan ‘salah’, tapi katakanlah, “itu sudah hampir benar, dan yang lebih benar itu begini”. Dan kita juga jangan menuntut si anak supaya mengikuti kemauan kita, tapi kita yang harus mengikuti mereka. Bila kita tetap memaksakan supaya si anak yang harus mengikuti kehendak kita, maka mempelajari Al-Qur’an terasa sangat membosankan bagi seorang anak. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada orang yang baru memulai belajar Al-Qur’an itu, hendaknya seorang guru memahami betul metode yang tepat untuk mengajarkan Al-Qur’an tersebut kepada setiap pemula itu.

    ZJ:
    Menurut abang, mana yang lebih utama didahulukan, belajar Al-Qur’an atau belajar sholat, dan mengapa?

    FK: Nah, ini dia pertanyaan yang saya tunggu-tunggu dari tadi. Menurut saya, seorang anak lebih baik diajarkan membaca Al-Qur’an terlebih dahulu. Ada beberapa alasan mengapa saya katakan demikian. Pertama, belajar Al-Qur’an bisa sambil bermain, sedangkan belajar sholat harus tenang, fokus, teratur dan terarah. Karena itu tidak heran bila Rasulullah SAW pernah mengingatkan umatnya untuk mengajarkan sholat bila seorang anak tersebut sudah menginjak usia tujuh tahun. Kedua, bila si anak sudah mampu membaca Al-Qur’an, minimal mampu membaca dan kemudian menghafal surat Al-Fatihah dan surat-surat pendek, maka belajar sholat pun akan terasa lebih nikmat bagi si anak, sebab ia sudah menguasai sebagian bacaan-bacaan dalam setiap gerakan sholat.

    Coba kamu bayangkan, bila kamu disuruh berdiri tanpa membaca sesuatu, terus ruku’, kemudian sujud dst., pastilah kamu akan bergumam, “saya ini sedang disuruh melakukan apa ya?” Begitu juga anak-anak yang tingkat keingintahuannya terhadap sesuatu itu juga cukup tinggi.

    ZJ:
    Bagaimana mengatasi anak yang sulit untuk diajak belajar Al-Qur’an, bang Fahman?

    FK: Seperti yang saya kemukakan di muka tadi, bahwa seorang guru, entah itu bapaknya, ibunya, abangnya atau kakaknya, terlebih dahulu memposisikan diri mereka sebagai anak-anak juga. Bila pendekatan semacam ini sudah dilakukan oleh kedua orang tuanya dan ternyata belum berhasil juga, berarti disitu ada faktor-faktor lain yang menyebabkan hilangnya rasa ketergantungan seorang anak kepada orang tuanya. Bila anak sudah merasa tak bergantung lagi dengan orang tuanya, maka si anak merasa tidak perlu mengikuti ajakan orang tuanya tersebut, dalam hal ini belajar Al-Quran. Dan pada zaman sekarang ini, faktor-faktor yang bisa menghilangkan rasa ketergantungan itu sangat banyak sekali.

    Maaf-maaf, banyak diantara orang tua (parents) zaman sekarang hanya bisa melahirkan bayi, tapi tak bersedia untuk menyusui bayinya dan belum mampu untuk merawat dan mendidiknya secara benar. Sebagai contoh, banyak diantara anak-anak yang sebenarnya masih sangat membutuhkan ASI (air susu ibu) dan secara otomatis pula, pada saat si ibu menyusukan bayinya, disitu ada sentuhan lembut penuh kasih sayang dari seorang ibu kepada anaknya. Sentuhan dan belaian lembut itu tentu akan mempengaruhi perkembangan anak pada usia selanjutnya. Disitu, si anak akan merasa bahwa ada orang lain yang menyayanginya, memperhatikannya dan menemaninya.

    Kini, posisi ASI tersebut sudah digantikan oleh susu lembu atau susu sapi. Dan tanggung jawab untuk merawat anakpun sudah dilimpahkan kepada pembantu. Sehingga, bagi pembantu yang tidak mahu bersusah-payah untuk mengendong bayi, maka ia akan menempatkan bayi dalam ayunan atau kursi roda. Bila si anak menangis, maka si anakpun akan disuguhkan beraneka ragam alat permainan dan air susu lembu atau air susu sapi. Dan bila si anak sudah merasa kenyang, lantas iapun akan tertidur dengan sendirinya. Ini salah satu faktor yang bisa menghilangkan rasa ketergantungan anak kepada kedua orang tuanya, khususnya kepada ibunya.

    ZJ:
    Stop … stop … dulu bang Fahman. Abang ini kalau diberi kesempatan berbicara, semua waktu mahu diborong semua, iya kan? Hehehe. Bang Fahman, alasan apa kira-kira yang membuat orang tua, khususnya para ibu tidak bersedia menyusui dan belum mampu merawat bayinya itu, bang?

    FK: Iya, itu semua tentunya dikarenakan kedua orang tuanya adalah orang-orang karir. Mengapa seorang ibu tidak bersedia untuk menyusui bayinya? Tentu banyak alasan. Ada sebagian diantara para ibu yang belum ingin payudaranya mengendur, sebab ia masih merasa perlu tampil menarik dalam setiap kesempatan, forum dan pertemuan. Selain itu, ada juga disebabkan oleh sempitnya kesempatan untuk menyusui bayinya.

    Sudah tidak asing di telinga kita, banyak diantara para ibu meninggalkan rumah dan berangkat kerja (ke kantor) pada saat masih pagi sekali, sedangkan si bayi masih dalam keadaan tidur. Bahkan keberangkatan isteri tak jarang jauh lebih mendahului keberangkatan suami. Kemudian kehadiran ibu ke rumah pun juga setelah larut malam. Jelas, si anak pun sudah tidur kembali. Dengan demikian, anak tak dapat lagi merasakan sentuhan lembut penuh kasih sayang dari ibunya. Rasanya perlu kita sadari, sebaik apapun layanan yang diberikan oleh pembantu kepada seorang anak, itu semua tak ada artinya bila dibandingkan dengan layanan yang diberikan oleh ibu kandungnya sendiri.

    Berkurangnya interaksi antara ibu atau orang tua dengan anaknya, juga merupakan faktor yang bisa menghilangkan rasa ketergantungan anak kepada orang tuanya. Bila ini terjadi, maka anak akan sulit untuk berkomunikasi dengan orang tuanya dan si anak juga akan sulit untuk menerima ajakan orang tuanya. Pemandangan yang sering kita saksikan di lingkungan keluarga, dimana seorang ayah lebih banyak menghabiskan waktnya di luar rumah karena kesibukan kerja, maka anak akan sulit untuk bisa akrab dengan ayahnya sendiri. Ia akan lebih merasa nyaman bila berada di sisi ibunya, karena memang ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.

    ZJ: Bang Fahman, apakah penjelasan abang ini ada kaitannya dengan slogan “Ibu itu adalah sekolah (pendidik) yang pertama (bagi anak)”?

    FK: Tentu saja ada. Karena itu, dalam bahasa kita, kita sering mendengar ungkapan, “seorang ibu yang cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas pula.” Disini, kata ‘cerdas’ tak hanya terbatas pada kemampuan untuk berfikir atau tingginya tingkat inteligensia seorang ibu, tapi ‘cerdas’ itu harus diterjemahkan secara luas, diantaranya, ‘bijak dan memiliki rasa tanggung jawab atau ada sense of responsibility’. Ibu-ibu karir itukan orang-orang cerdas, tapi karena ada faktor lain, maka sense of responsibility untuk menyusui dan merawat bayinya itu tenggelam bersamaan dengan besarnya gelombang tuntutan dunia kerja bagi ibu karir tersebut. Diantaranya, seperti yang saya katakan di awal tadi, adanya tuntutan untuk tampil menarik dan tuntutan untuk masuk kerja sejak pagi hari.

    ZJ: Penjelasan abang ini cukup menggigit sekali. Apakah abang tak setuju dengan hadirnya wanita (ibu) karir?

    FK: Hehehe, bukannya saya tak setuju dengan ibu karir, bahkan saya mempersilakan para ibu itu untuk berkarir. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah, hendaknya karir tersebut masih dalam batas-batas yang wajar dan tidak mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu bagi anaknya dan sebagai seorang isteri bagi suaminya. Kalau ada seorang ibu melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu karena keasikan mengejar karir, itu namanya sudah keluar dari batas-batas yang wajar. Misalnya, seorang ibu yang berangkat pagi dan pulang larut malam sehingga melewatkan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, bagi saya, itu namanya ibu yang mengejar dunia. Dan dunia ini tak ada habisnya bila dikejar.

    Dan satu hal lagi yang perlu diingat, suami yang mana yang tidak akan bahagia bila sebelum keberangkatannya ke kantor masih bisa memperoleh ciuman mesra dari isterinya. Dan kenakan dasi suami yang belum rapi, dirapikan oleh isterinya, bukan dirapikan oleh pembantunya. Kalaulah pembantu yang terus-menerus merapikan dasi suami yang belum rapi itu, dan pembantu pula yang mengenakan sepatu suami, maka jangan heran bila suatu saat “ciuman mesra” suami akan melayang kepada pembantu. Bila hal yang semacam itu sempat terjadi, maka bersiap-siaplah menunggu kedatangan “kiamat sughra” atau badai pertengkaran yang mengarah kepada perceraian di tengah-tengah keluarga itu.

    ZJ:
    Itu dia baru bang Fahman namanya, uraiannya cukup meriah sekali. Terus bang, katakanlah si anak mau belajar Al-Qur’an, tapi orang tuanya tak bisa mengajarkan anaknya karena orag tuanya tersebut juga belum bisa membaca Al-Qur’an. Nah, siapakah yang harus mengajarkan Al-Qur’an kepada anak tersebut?

    FK: Rasulullah SAW pernah mengingatkan kita begini, “sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan (kemudian mau pula) mengajarkanya (kepada orang lain)”. Jelas, itu menjadi tanggung jawab kita yang bisa membaca Al-Qur’an dengan baik untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak mereka. Para orang tuanya hendaknya menghadirkan orang-orang yang bisa membaca Al-Qur’an dengan baik untuk mengajarkan anak-anak mereka. Dan pada saat yang sama, para orang tua juga tak perlu merasa malu untuk mempelajari Al-Qur’an. Kita memang tak boleh malu untuk belajar Al-Qur’an. Lagi pula, Al-Qur’an juga merupakan salah-satu tiket yang bernama “syafa’at” yang akan menghantarkan “Ashhabul Qur’an”, yaitu orang-orang yang selalu membaca dan mengamalkan isi Al-Qur’an menuju syurga. Untuk itu, kita tidak pantas untuk merasa malu untuk mendapatkan tiket syafa’at itu sebagaimana kita tidak pernah malu untuk mengejar berbagai kesenangan dan kenikmatan dunia yang sifatnya sementara ini.

    ZJ:
    Bang, sepertinya percakapan kita ini udah terlalu panjang bang, mungkin ada pesan yang ingin abang sampaikan kepada para pembaca dan para pendengar kita di halaman Irama Dakwah ini?

    FK: Saya kembali teringat dengan pesan Rasulullah SAW, “Nawwirû buyûtakum bis-sholati wa tilawatil Qur’an”. Artinya, “Hiasilah rumahmu dengan sholat dan bacaan Al-Qur’an”. Sebuah rumah yang sering dibacakan Al-Qur’an (kalimat-kalimat Allah) di dalamnya, maka rumah itu akan terasa nyaman dan tenteram untuk ditempati atau dihuni. Dan itulah pesan saya kepada para pembaca dan pendengar Irama Dakwah ini.

    ZJ:
    Apakah bang Fahman akan mempersembahkan uraian ini kepada seseorang?

    FK: Tentu saja kalau itu memang dibolehkan. Saya persembahkan bahasan ini kepada kedua orang tua saya, khususnya kepada ibu saya yang telah menyusui saya selama dua tahun. Kemudian saya persembahkan juga bahasan ini kepada para ibu yang masih memperhatikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, juga kepada calon-calon ibu, terutama kepada adik-adik saya Sri Wahyuni (Pekanbaru) dan Sri Hendayani (Pekanbaru) serta Nurzajili (Bagansiapiapi), teman-teman saya, Irmawati (Pekanbaru), Hariyanti (Pekanbaru), Rina Septilova (Pekanbaru), Rifa Arfitriana (Pekanbaru), Fatmawati (Pekanbaru), Nur Khalifah (Pekanbaru), Lilik Kusmawati (Pekanbaru), Eli Nurliana (Bagan Batu), Reni (Padang), Rista (Padang), Najmi Hayati (Mesir), Ida Abidin (Jakarta), Listy (Jakarta), Dwi Irwanti (Jakarta), Ria Hapsari (Jakarta) dan Disa Ayudian Pramudia (New Delhi).

    ZJ:
    Bang, mengapa nama Nidia dan Rini tak abang sebut?

    FK: Hehehe …, Nidia itukan “akkes” (baca: adik kesayangan) Mas. Dan kepalan tangan Mas itu sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa saya. Bayangkan, jika kepalan tangan Mas yang sebesar tempurung kelapa itu melayang ke muka saya, kan bisa remuk wajah saya yang sudah mulai keriput ini. Sedang Rini tak saya sebut karena Rini itukan sudah menjadi isteri bang Alex Pane. Sebenarnya saya ingin menyebut nama Aila Idrusi, tapi saya ini bukan keturunan orang Arab, saya ini kan orang ‘ajam. Jadi saya itu, ya kalah saing sama Fachim Harharah. Dulu, saya ini sempat diperkenalkan oleh Buya Rizqon Khamami kepada Aila Idrusi tersebut dengan “Habib Kamil”, tapi Allah SWT masih memperlihatkan kepada saya bahwa yang haq (benar) itu akan tetap haq dan yang bathil (salah) itu akan tetap bathil. Alhamdulillah, saya tak menjadi seorang “Habib”. Kalau sempat saya ini menjadi seorang habib, maka kehadiran Fachim Harharah itu, keciiiil, hehehe.

    ZJ:
    Oh ya bang, sebelum kita mengakhiri pembicaraan ini, saya ingin tahu mengapa abang ini diberi nama Fahman Kamil, dan artinya apa?

    FK: Itu kan urusan kamu yang membuat dan menyusun tulisan ini. Dan kamulah yang lebih tahu mengapa kamu menggunakan nama Fahman Kamil dalam tulisan ini, hehehe. Bagaimana pun, Fahman Kamil itu artinya cukup bagus juga, yaitu, “Pemahaman yang sempurna”. Udah dulu ya, Zam. Saya sudah mengantuk dan biarkan saya tidur dulu. Assalamu’alaikum. (Bang Fahman pun masuk kedalam kelambu sufinya sembari menarik selimut tidurnya. Sesaat kemudian terdengar suara sengkurannya bak suara kokok ayam jantan hutan).

    ZJ:
    Okelah bang kalau begitu. Terima kasih banyak atas kesediaan abang untuk berbagi cerita dengan para pembaca dan pendengar Irama Dakwah ini, dan wa’alaikumsalam juga bang. (ZJ pun masuk kedalam kelambu sufi tadi sambil berkata, “geser sedikit bang, perahu Lancang Kuning mau lewat”. Dan ZJ pun tertidur karena sudah mengantuk sekali).

    Para pembaca dan para pendengar Irama Dakwah yang budiman, demikian dulu sekilas pembicaraan penulis dengan Fahman Kamil pada pertemuan yang pertama ini. Insya Allah, Fahman Kamil, pelajar Ilmu Politik di Aligarh Muslim University, India tersebut akan kembali hadir di Pondok Irama Dakwah ini pada waktu yang akan datang. Selamat menikmati hari-hari anda, dan tetaplah bersama kami. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. []

    Zamhasari Jamil, Pelajar Ilmu Politik asal Riau di Aligarh Muslim University, India.

    Friday, January 27, 2006

    Topik Utama: Mukjizat Isra' Mi'raj

    Sumber berita: http://www.cybermq.com/

    "Peringatan Isra' Mi'raj menguji keteguhan umat Islam, apakah wahyu masih membimbing akal kita, apakah justru kita telah menafikan wahyu lantas keterlaluan asyik dengan logika dalam kehidupan beragama."

    Kuasa Allah nyata tak terbatas. Tinggal mengucap “kun” saja, maka terjadilah apa yang menjadi ketentuan-Nya. Apapun yang tak mungkin dalam pandangan manusia, mungkin dan mudah dalam pandangan Allah SWT. Sebagaimana begitu mudahnya Dia memperjalankan Rasulullah SAW dari Makkah ke Baitul Maqdis, dari bumi yang fana ini menuju hadirat-Nya : Sidratul Muntaha. Singkat saja waktu perjalanan yang ditempuh oleh Baginda Nabi. Cuma satu malam. Sampai-sampai hanya Abu Bakar As-Siddiq saja yang betul-betul penuh mempercayai tuturan pengalaman beliau. Penduduk kota Mekkah yang rata-rata belum menganut Islam malah menertawakan kabar di-mi'raj-kannya Rasulullah SAW.


    Sebelum Rasulullah SAW di-mi'raj-kan Jibril a.s. "membedah" dada beliau, untuk membersihkan jiwa Baginda Nabi dari 'debu-debu' dunia. Kedalam hatinya kemudian didedahkan “iman” dan “hikmah”. Sebuah pelajaran bagi kita, bahwa untuk menghadap ke hadirat Allah SWT, bahkan seorang Rasul-pun mesti membersihkan diri dari pelbagai kotoran hati, dan menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah. Bekal untuk dapat berjumpa dengan Sang Khaliq yang paling utama adalah kebersihan jiwa. Sebab jiwalah yang menentukan apakah diri kita termasuk Islam, Iman, atau Ihsan. Sebaliknya, hati kita juga yang menentukan, apakah diri termasuk kafir, fasik, musyrik atau seorang munafik.

    ***
    Saat Baginda Nabi sampai di Baitul Maqdis, Jibril a.s. memerintahkannya untuk menjalankan shalat dua raka'at. Setelah menunaikan shalat dua raka'at di Baitul Maqdis itu, Rasulullah SAW ditawari minum oleh Jibril a.s. Minuman itu adalah arak dan susu. Rasulullah SAW kemudian memilih untuk meminum susu, ketimbang menghirup arak yang harumnya sebenarnya sungguh menggoda indera. Seketika Jibril a.s. berkata lega : “Engkau telah memilih kesucian.” Kemuliaan Baginda Nabi sebagai teladan umat membuat beliau memilih minuman yang berkhasiat. Beliau tahu, jika saja arak yang ditenggak, maka umatnya akan menjadi sekumpulan manusia yang hilang akal, dan kerap dimabukkan oleh segala kenikmatan dunia.

    Pada malam Isra Mi'raj itu, Rasulullah SAW menyaksikan pula berbagai peristiwa yang erat kaitannya dengan perilaku umatnya sebagai khalifatullah. Ditunjukkan kepada beliau akhirat, yang terbagi dalam dua wilayah : surga dan neraka. Baginda Nabi menyaksikan betapa penderitaan mereka yang berbuat durhaka. Baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah SWT juga telah menunjukkan kepada Rasulullah SAW, bahwa iman dan akidah yang teguh akan mendapat balasan baik dari-Nya. Orang yang rajin beramal saleh, kukuh berjihad di jalan Allah, akan diberi balasan berlipat-ganda. Bak seorang yang sekali menanam, namun hasil yang diperoleh bisa dituai berulang-kali. Baginda Nabi menyaksikan itu terjadi pada keluarga Mashitoh, pembantu Fir'aun yang dibunuh oleh suruhan Pharaoh. Allah SWT telah memuliakan Mashitoh dengan serba kenikmatan. Berkat ketabahannya menggenggam kalimat tauhid : “Tiada Tuhan selain Allah.”


    Peristiwa Isra Mi'raj-pun menandaskan kepada manusia, bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Mendengar. Nyata Allah telah meringankan kewajiban menunaikan shalat, ketika perintah shalat diturunkan kepada Rasulullah SAW. Bermula dari perintah agar umat Islam mengerjakan shalat 50 kali sehari-semalam. Setelah Baginda Nabi dihimbau oleh Nabi Musa a.s. untuk kembali mengajukan permohonan keringanan (sebanyak 9 kali), Allah SWT telah mengurangkannya hingga 5 kali saja sehari-semalam. Bukan tak niscaya, jika saja Baginda Nabi mengajukan permohonan untuk mengurangi bilangan kewajiban itu, Allah SWT akan mengabulkan permohonannya. Tapi karena besarnya rasa malu Rasulullah SAW terhadap Allah, kendati Nabi Musa a.s. pesimis bahwa umat Islam tak akan lalai dari mengerjakan kewajiban itu, Baginda Nabi tak lagi mengajukan pengurangan jadwal shalat wajib.

    ***
    Seandainya umat Islam- atau seluruh umat manusia- mengimani bahwa peristiwa Isra' Mi'raj ini benar-benar dialami Rasulullah SAW, maka tak akan ada yang lalai dari berbuat benar dan menegakkan shalat lima waktu. Pada hakikatnya, setiap Isra' Mi'raj diperingati, setiap itu kita diuji. Apakah kita telah khusyuk dan tertib menunaikan kewajiban shalat lima waktu, apakah kita konsisten memilih kebenaran ketimbang keburukan, dan apakah kita percaya betul bahwa umat Islam adalah umat pilihan yang kelak lebih dulu masuk ke surga, daripada umat-umatnya yang lain ?

    Peringatan Isra' Mi'raj menguji keteguhan umat Islam, apakah wahyu masih membimbing akal kita, apakah justru kita telah menafikan wahyu lantas keterlaluan asyik dengan logika dalam kehidupan beragama. Aneh memang, jika masih ada perdebatan tentang bagaimana Rasulullah SAW menempuh perjalanan Isra' Mi'raj itu. Aneh jika kita masih mengira-ngira apakah Baginda Nabi melakukan perjalanan berikut roh dan fisik, sekadar roh saja, dalam arti Rasulullah SAW mengalami peristiwa Mi'raj hanya dalam mimpi. Keraguan kita sama saja dengan pengingkaran terhadap firman-Nya : "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsa yang telah kami berkati sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Q.S. Al-Israa': Ayat 1).

    Semoga Allah SWT membimbing akal kita dalam menempuh berbagai ujian terhadap aqidah kita sebagai muslim. Semoga moment Isra' Mi'raj membuat kita sadar, bahwa akal manusia selalu memerlukan bimbingan wahyu. Sebab akal hanya milik manusia yang rendah, sedangkan wahyu murni hanya milik Allah SWT. “Akal dan wahyu tidak boleh dipisahkan, sebab wahyu juga merupakan sumber dan landasan syariat Islam, sementara akal berfungsi sebagai alat untuk memahami syariat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT tersebut.”demikian tulis Zamhasari Jamil, mahasiswa Department of Islamic Studies Jamia Millia Islamia, New Delhi, India, dalam artikel Isra’ Mi’raj: Antara Wahyu dan Akal.(red/aea)